Mungkin
karena kita masih tetap di sini, di balik selimut yang hangat serta
bantal kepala yang empuk untuk ditiduri, kita masih pulas di sana, dalam
buaian mimpi yang terus menjejali, juga kelelahan-kelelahan yang sering
terjadi karena memang kita meng-alpa-i diri. Kita memang masih di sini,
di tumpukan kemalasan sedang matahari sudah mulai terbit dari timur,
sedang embun pagi mulai membasahi bumi yang dingin, di subuh yang
semakin beku ini, kita telah lupa satu hal, bahwa ada kenikmatan lain
yang telah kita lalaikan bersama. Ada kesyukuran yang terlambat untuk
terucap, sedang pagi sudah mulai datang dan meninggalkan subuh, sedang
langit sudah mulai terang menyinari.
Mungkin
karena kita masih enggan untuk jujur pada diri, pada tiap keringat yang
berpeluh dalam hari. Pada penggal-penggal hati yang semakin hari terus
saja terkotori, pada tiap perkataan yang senantiasa tak lebih dari
prasasti yang tak berarti. Kita memang telah sering membohongi diri,
atau mungkin kita sendiri yang tak sadar telah membohongi diri ?
kebohongan pada hati, bahwa sejatinya ia sedang goyah karena tak bisa
memiliki fitrahnya, fitrahnya yang cenderung tenang ketika Allah di
sana, fitrahnya yang selalu damai ketika cinta yang menyala itu hanya
untuk Allah, fitrahnya yang bening, bahwa dekapan ukhuwah itu akan
terasa ketika iman melekat kepadanya. Kita telah lupa dan membohongi
diri sendiri, bahwa sebelum kita lahir di dunia ini, Allah telah
mengambil janji dari diri kita agar tak sering mengingkari apa yang akan
diperintahkan-Nya.
Mungkin
karena kita masih sering malas untuk berbenah. Berbenah atas
amalan-amalan kita yang sering bolong, berbenah atas niat-niat hari yang
tak sebening pagi, berbenah untuk langkah-langkah kaki yang tak lagi
lurus pada jalan yang abadi, berbenah untuk sujud penghambaan yang
semakin hari semakin terasa hambar di hati, berbenah untuk istiqamah
yang masih jauh dari dalam diri, berbenah untuk sebuah tadhiyah
(pengorbanan) yang masih payah bersama jalan ini, berbenah untuk setiap
waktu kita yang habis dengan perkara dunia yang sempit lagi tak punya
arti. Kita memang sering malas untuk berubah, namun terlalu rajin untuk
mengejar bahagia di dunia, sedang akhirat adalah negeri abadi yang bisa
jadi indah atau buruk bagi diri.Mungkin karena kita masih sering
memiliki banyak alasan. Alasan untuk melambatkan waktu shalat kita,
alasan untuk tak lagi menyempurnakan yang wajib dengan rawatib kita,
alasan untuk tak lagi berlama-lama dzikir bersama Allah setelah lelah
dalam hari, alasan untuk tak punya waktu di pagi hari, sedang Dhuha
sudah mulai mengintip-i bumi, alasan untuk tiap kemalasan kita di malam
hari, alasan untuk tak lagi segera melakukan kebaikan-kebaikan bagi
orang lain, kita punya banyak sekali alasan untuk membenar-i, padahal
sejatinya ia hanyalah cara agar kita punya jawaban yang pasti pada setan
yang menjejali, bahwa paling tidak, ia telah mampu menyesati.
Kita
memang terlalu banyak beralasan, hingga tak lagi punya jawaban untuk
tiap masalah yang menimpa diri. Kalau sudah begini, apakah kita akan
berani menentang Allah jika DIA-pun PUNYA ALASAN yang pasti untuk
menghukumi kita ? sedang bagi DIA, diri ini hanyalah kecil tak
berarti.Mungkin karena kita masih tetap di sini, pada titik awal yang
selalu stagnan untuk sebuah PERUBAHAN AKHIRAT, pada kata ENGGAN yang
selalu mengajari diri agar menghentikan langkah yang benar-benar
menguati, pada rasa MALAS yang lebih sering datang menghampiri, apalagi
ketika suara-suara pengingat dari Allah mulai tiba dan kita dengari,
juga pada BANYAKNYA ALASAN yang kita cipta sendiri.
Semuanya..
adalah sedikit dari banyak cara untuk mampu menohok diri kita. Bahwa
“Mungkin KARENA kita memang telah pergi meninggalkan kampung akhirat..
kita telah lupa padanya, dan bersorak-sorak menikmati dunia yang semakin
sempit dan menyesakkan.. ““Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang
lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr : 19)