Sabtu, 31 Mei 2014

Da aku mah apa atuh?

da aku mah apa?
hanya seonggok tanah
hanya sekumpulan saraf dan darah
hanya rangka tulang berbalut daging

da aku mah apa?
hanya rangkaian sendi dan otot
hanya kumpulan organ dan jaringan
hanya sebuah sistem yang bersinergi
yang berwujud
yang bergerak
yang seimbang

katanya...
aku ini makhluk sempurna
yang Allah tiupkan ruh
yang Allah berikan akal
yang Allah sisipkan perasaan

da aku mah apa atuh?
bukan malaikat yang selalu patuh
bukan iblis yang selamanya ingkar
bukan binatang yang tak beradab

kini aku tau....
da aku mah makhluk sempurna
maka harus banyak bersyukur
da aku mah ciptaan Allah yang berakal
maka tak perlu banyak berputus asa
da aku mah punya perasaan
maka tak perlu saling menyakiti

Hai manusia,
Apakah engkau mengira dirimu kecil?

Tidak!
Dalam dirimu terdapat alam yang amat besar.

-------------------------------------------
"Hai manusia Apakah yang telah memperdayakanmu terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang telah menciptakan-mu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu seimbang; dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusunmu" (Qs. Al infithar [82]: 6-8)

Jumat, 09 Mei 2014

Save Our Children

Belakangan ini berita ramai oleh kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak. Padahal masih hangat awal april lalu, mata dan telinga kita sibuk di jejali berita tentang pemilu dan parpol merah, kuning, hijau. Dunia terus bergerak, informasi terus berganti dan wawasan kita tentunya harus semakin terasah. Masalah akan semakin beragam, tidak lagi sembunyi-sembunyi tapi terang-terangan, teknologi yang maju cepat, dan mudahnya akses informasi membuat orang semakin kreatif. Ironinya ke kreatifan itu bukan dalam hal positif saja tapi dalam bentuk kejahatan. Belum selesai saya menulis, berita baru sudah bermunculan. Geram saya, sama berita dan berbagai kasus yang melibatkan anak-anak.

Jika hari ini mereka begitu kelabu, apa yang terjadi esok lusa?
Masihkah mereka berwarna?

Sungguh memprihatinkan, rasanya pengen marah. Ini musibah besar yang tidak bisa dianggap lumrah dan biasa. Dalam catatan ini, saya ingin mengulas kasus yang melibatkan anak, yang saat ini marak diperbincangkan, saya akan coba mengulas dari prespektif berbeda. Tulisan ini tidak akan menghakimi aparatur pemerintah baik itu dalam bidang keamanan atau pendidikan. Cukup, kita tak perlu menghubungkan satu sama lain untuk memperkeruh suasana. Karena menurut saya, ini adalah masalah bersama, yang bisa saja terjadi di lingkungan kita. Berita yang terjadi saat ini mungkin membuat para orang tua khawatir, sebagian dari mereka dilema, apakah membiarkan anak bergaul dengan lingkungannya, memproteksi sejak dini, atau bahkan memilih home schooling saja. Ada sebuah statmen yang baik, tapi saya lupa persisnya seperti apa. Kurang lebih garis besarnya seperti ini, "anak akan tumbuh dan senang bermain dengan lingkungan, dan teman-temannya. Sebelum semua itu terjadi, buatlah anak senang bermain bersama orang tuanya".

Peran orang tua tidak bisa dianggap main-main, beberapa kasus yang saya dapatkan di televisi, internet atau radio membuat hati saya tergerak untuk segera menulis. Ya, saya belum bisa berbuat banyak, hanya bisa woro-woro sama temen-temen, hanya bisa berbagi ilmu dengan orang tua murid, dan mengingatkan anak-anak mereka. Berharap catatan ini bisa membawa manfaat untuk yang berkenan membacanya.

Pemirsa yang budiman, perilaku menyimpang yang terjadi pada pelaku pemembunuhan, perkosaan, tawuran dan lainnya adalah cerminan gagalnya pendidikan moral di usia dini. Faktor itu didukung dengan lingkungan tempat ia tumbuh, dan bersama siapa ia bergaul. Sehingga penyimpangan moral yang terjadi pada seseorang (pelaku) tidak terjadi secara instan, tapi melalu beberapa proses. Menurut seorang ahli psikologi, ada 3 fase seseorang berkelakuan jahat, hal ini bisa kita telusuri dengan :
  1. Lihat siapa yang mengasuhnya sewaktu kecil, apakah orang tua, nenek, kake atau pembantu rumah tangga. Hal ini penting, mengingat usia dini merupakan masa “pemodelan” untuk anak. Jadi setiap peranan pengasuh akan tertanam kuat di dalam otak anak yang masih imut-imutnya itu. Peran ayah atau ibu yang baik atau buruk akan menjadi teladan untuk dirinya. Namun fase pertama ini, bukan satu-satunya hal yang bisa membentuk anak menjadi jahat. Karena fase pertama ini, dipengaruhi oleh fase berikutnya.
  2. Lihatlah lingkungan sosialnya, fase pemodelan di usia kanak-kanak dipengaruhi kuat oleh lingkungan. Dalam hal ini saya menyebutnya “imitasi”. Lingkungan yang saya maksud di sini, tidak hanya sebatas tetangga kanan-kiri, depan-belakang, tetapi segala sesuatu yang termasuk di dalamnya. Diantaranya seperti budaya, adat istiadat, sekolah, masyarakat, dan peranan media. Faktor media di fase ini sangat berpengaruh, bulan maret lalu saya menyimak salah satu berita miris: seorang remaja tega menganiyaya mantan pacarnya, hingga meninggal dunia karena alasan sakit hati. Ini adalah salah satu gambaran, bahwa pemuda masa kini kurang mampu menahan emosi. Namun menurut ahli psikologi, hal ini disebabkan karena ia senang menonton film pembunuhan dari masa kanak-kanak sampai ia tumbuh menjadi remaja. Faktor lainnya, ia merasa tidak disayangi oleh orang tuanya terutama ayah. Sungguh miris. Pun bahaya media bisa kita rasakan dari tayangan sinetron yang banyak menyuguhkan bullying, cinta monyet, aksi kekerasan tanpa kita sadari dan tayangan yang membuat mata dan hati jauh dari mengingat Allah, jauh dari hal yang membawa manfaat. Maka sungguh awal kehancuran bilamana anak “mengimitasi” apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, apa yang ia temukan dalam lingkungan sosialnya.Jika 3 dari 10 orang anak di setiap daerah demikian, apa kabar Indonesia dari sabang sampai merauke? Apa jadinya Indonesia beberapa tahun kedepan apabila anak-anak dan remajanya sudah terlihat memperihatinkan. Betapa sungguh hal mendidik dan mengkader anak manusia, bukanlah perkara sederhana.“Jika ia tidak bisa mewarnai lingkungannya, tentu ia akan terwarnai oleh lingkungan”. Berhati-hatilah.
  3. Fase ketiga ini merupakan gabungan dari fase satu dan dua yaitu “penguatan”. Apa yang ia terima di lingkungan keluarga dan sosial, seiring waktu akan mengendap dan menguat di dalam otak. Itu bisa membentuk karakter, perilaku, dan akhlaknya. Dalam fase penguatan ini saya berasumsi sebagai berikut:
  • Lingkungan keluarga kondusif + lingkungan sosial kondusif = karakter anak menjadi kuat (sama/tidak terlalu jauh dari apa yang diharapkan).
  • Lingkungan keluarga kondusif  + lingkungan sosial kacau =
  • Jika ayah dan ibu bekerja sesuai dengan peran dan tugasnya, anak merasa aman dan nyaman berada di lingkungan keluarga. Lingkungan sosialnya tidak akan membawa pengaruh besar, selama pondasi yang orangtua bangun positif dan kuat.
  • Jika ayah atau ibu membangun pondasi positif tapi tidak kuat, anak bisa saja terbawa arus lingkungannya yang kacau.
  • Dirumah anak merasa tidak berharga + lingkungan kondusif  = anak merasa nyaman dengan lingkungan atau teman-temannya, (tumbuh kuat “mengimitasi” lingkungan sosialnya), tidak begitu dekat dengan keluarga.
  • Dirumah anak merasa tidak berharga + lingkungan sosial kacau = anak bosan hidup (merasa hidupnya tidak berarti), sistem dalam otak terganggu sehingga ia lebih berani mengambil resiko, melakukan segala hal yang membuat dirinya senang tanpa memikirkan baik/buruk.

Khusus untuk point ke tiga ini, saya menulis berdasarkan apa yang saya lihat di lapangan. Asumsi ini masih perlu di buktikan dengan penelitian, adapun teman-teman yang mengetahui teori atau lebih paham akan ilmunya saya tunggu keripik pedas untuk kita makan bersama. #eh

Baik, kita kembali ke pembahasan. Apa yang saya tulis di atas merupakan sedikit gambaran penyebab seseorang berperilaku kriminal. Lalu bagaimana dengan korban?, dalam hal ini baiknya langsung konsultasi dengan psikolog. Jika orangtua tidak cepat tanggap, dikhawatirkan anak akan mengalami gangguan mental. Sebuah penelitian menyebutkan, seseorang yang mengalami gangguan pelecehan seksual di masa kecil akan melakukan hal yang sama dimasa depan. Kurangnya perhatian dari orangtua dan tidak adanya terapi yang dilakukan terhadap korban, membuat 80% korban pelecehan seksual melakukan hal yang sama dimasa depannya, 20% lainnya mengalami gangguan mental dan menutup diri. Hal yang ingin saya tekankan dalam penulisan ini adalah: RE EDUCATION OF PARENT atau pentingnya pendidikan untuk ayah dan ibu dalam mendidik buah hatinya Evni Indriani seorang psikolog anak menjelaskan dengan beberapa hal yang saya tambahkan. Beliau menuturkan bahwa betapa krusialnya peranan orangtua dalam mendidik, ini keadaan DARURAT. Perlu adanya gerakan nasional dari orangtua untuk meminimalisir kejadian serupa. Adapun dibawah ini saya berikan oleh-oleh/bekal untuk orangtua dan para pendidik sebagai PR kita bersama, sebagai berikut :
  • Tanamkan pada anak, nilai-nilai agama sejak dini, hal yang paling penting adalah melatihhabit  yakni dengan contoh/teladan. Anak senang meniru sehingga ia butuh contoh kongkrit tidak abstrak. Oleh karena itu ketika menanamkan nilai-nilai baik, tidak bisa hanya dengan kata-kata.
  • Tanamkan nilai-nilai kebaikan (pendidikan moral) pada anak, karena Pada usia 0-7 tahun otak anak terbuka. Hal yang ia terima akan dilakukan ulang ketika dewasa.
  • Berikan ia pengetahuan dasar tentang kasus kekerasan, tidak peru detail. Bila anda bingung untuk menjelaskan pada anak mari kita diskusikan ^_^

Semoga bermanfaat,
Masih belajar menuangkan pemikiran 
Sangat berharap kritik yang membangun, dan saran yang mencerahkan.
My little home, di sela-sela penulisan skripsi: 8 Mei 2014 Pukul 08.08 PM
Mutia Azahra