Dahulu
sekali, ketika adikku lahir ke dunia - saat itu aku masih balita. Seseorang
yang entah siapa bertanya kepadaku, "dulu muti juga jadi ade bayi lho,
muti inget gk?". Aku menggelengkan kepala, sambil menatap adikku yang
tengah menangis di atas kasur. Aku merasa takjub dan memikirkan bahwa dulu
ternyata aku pernah menjadi bayi, tidak punya kekuatan dan sering menangis
seperti adikku. Usiaku saat itu sekitar 4 atau 5 tahun. Hari itu aku berpikir,
bagaimana aku bisa ada di dunia ini?. Kenapa aku sama sekali tidak ingat
bagaimana aku bayi? Kenapa tiba-tiba aku sudah besar (maksudnya udah
balita). Pikiranku saat itu mengatakan, melupakan sejarah adalah sebuah
kesalahan. #ahaaa lebay bingiiit. Sederhananya, aku beranggapan bahwa sangat
disayangkan sekali melupakan apa yang terjadi dalam hidup. Alhasil mulai saat
itu aku berniat tidak melupakan hal-hal yang aku anggap penting (Ampuun dah).
Seperti membeli anak ayam warna-warni, tragedi petasan yang di rendam di ember
sama mama, ke jebur di selokan, atau pergi beramai-ramai melihat kuburan yang
mengeluarkan asap. Wah kalau di ceritakan tentu akan panjang sekali. Maka
dewasa ini aku paham, bahwa saat itu adalah masa ke emasan (golden age). Masa
yang tak pernah lelah untuk mencari tahu dan ingin mencoba. Lambat laun, aku
mulai memahami tentang arti kelahiran, tentang usia, tentang kelemahan manusia
yaitu "lupa".
Dalam
dimensi waktu, aku tidak pernah merayakan hari lahir. Mama dan papa hanya
mendoakan dan itu cukup, tapi teman-teman kecilku merayakan hari lahir mereka -
itu membuat muti kecil merasa iri (ada ada ajja). Maka ketika aku ulang tahun,
diam-diam aku jajan donat atau roti (baca:kue bolu) dan tak lupa aku pasang
lilin putih besar yang sering digunakan kalau mati lampu. #bahagia itu
sederhana bukan?. Meskipun begitu, mama dan papah bukan tidak bisa merayakannya
dengan pesta. Tapi mungkin tidak ingin membiasakan dan menjadikan itu sebagai keharusan.
Ya, keharusan seperti ada kue, lilin, make a wish, lagu Happy Birthday, dan kado
di hari kelahiran. (ini asal usulnya darimana ya?)
Kini
saat aku mengajar, aku tahu bagaimana keinginan mereka (murid-muridku)
merayakan ulang tahunnya di sekolah. Lucunya lagi, januari lalu kami para guru
tidak pernah sepi dari ulang tahun selama tiga hari berturut-turut. Bukan
karena hari lahir mereka yang berdekatan, tetapi karena mereka sangat ingin
merayakannya. Namun ada yang berbeda di bulan febuari tahun 2015 ini, kemarin
sepulang sekolah beberapa orang tua murid ingin bertemu denganku dan bunda neng.
“Selamat ulang tahun bunda muti, selamat ulang tahun bunda neng” sambil
menyerahkan kue dan kado. Bunda neng celingak-celinguk sambil senyum-senyum
karena miladnya udah ke lewat 8 hari. Sedangkan aku tersenyum sambil muhasabah
*ini bukan lebay*. Lebih tepatnya nostalgia, karena smp dulu mut pernah nyembunyiin
sepatu wali kelas dengan alasan “ulang tahun”. (Tobat daaah...)
Tidak ada alasan apapun
kenapa aku membagi cerita ini, hanya saja kejadian ini mengandung hikmah bahwa
hidup membuat kita banyak belajar.
Pembelajaran pertama, saat anak menjadi RAJA atau usia (0-7) perbanyaklah
pertanyaan yang menimbulkan rasa ingin tahunya. Sebagian besar dari kita justru
terlalu banyak menjelaskan apa yang anak tanyakan, meskipun itu memang bukan
kesaLahan. Cobalah memberikan banyak pertanyaan terhadap hal-hal yang belum ia
tahu. Melalui pertanyaan, otaknya justru akan terstimulasi untuk berpikir dan
mencari tahu. Contohnya : “kenapa ya daun berwarna hijau?”, “apa semua daun
warnanya hijau?”, “tapi daun ini kok warnanya coklat”, sambil memegag daun
kering. Dari pertanyaan tersebut tentu saja akan banyak pertanyaan lain dalam
benaknya. Kemungkinan besar ia akan bertanya kepada orang terdekat, mengamati,
atau mungkin googling.
Pembelajaran kedua
dari cerita ini, ulang tahun adalah salah satu cara mengenakan konsep waktu
terhadap anak. Anak usia dini pada umumnya masih kebingungan dengan kata
kemarin dan besok. Baginya semua waktu adalah sama yaitu “sekarang”, itulah
yang membuat anak-anak tidak suka menunggu. Maka mengenalkan hari lahir adalah moment mengenalkan hitungan tahun
untuknya, dengan pengertian bahwa ulang tahun tidak harus selalu dirayakan.
Pembelajaran ketiga, menjadi
pendidik bukanlah perkara mudah. Salah atau asal-asalan mendidik akan berakibat
dikemudian hari, dampaknya bisa mempengaruhi pola pikir, karakter, akhlak dan psikologis
anak. Oleh sebab itu, guru harus menjadi sahabat sejati orangtua agar
pendidikan di rumah dan di sekolah sejalan. Dari cerita di atas, dengan posisi
saya sebagai guru. Sungguh saya terharu plus seneng banget, bukan karena
hadiah/kue dihari ulang tahun. Tapi karena apresiasi orangtua yang baik, yang
sungguh menghargai meskipun saya sebagai guru tentunya memiliki banyak sekali
kekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar